JADWAL SIDANG KASUS SEWA PESAWAT MERPATI

MA MEMVONIS EMPAT TAHUN DAN DENDA RP 200 JUTA ATAS KASUS MERPATI. KEPUTUSAN YANG SUNGGUH MENGEJUTKAN. PADAHAL SEBELUMNYA PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA MEMVONIS BEBAS. HARAPAN ADA DI PENGAJUAN PK. MOHON DUKUNGAN DEMI TEGAKNYA KEADILAN. |

Mengembalikan Keagungan Mahkamah Agung



Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa ikatan alumni perguruan tinggi (ITB, UI, ITS, IPB, dan Trisakti) yang kemudian tergabung dalam Alumni Lintas Perguruan Tinggi aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan di bidang hukum. Ini terutama dipicu banyaknya profesional alumni perguruan tinggi yang terpaksa berhadapan dengan masalah hukum dalam menjalankan tugas profesionalnya. Beberapa kasus tersebut di antaranya kasus Hotasi Nababan (Merpati Nusantara), dr Ayu Sasiary (RS Kandou Malalayang, Manado), Indar Atmanto (Indosat Mega Media) serta kasus bioremediasi Chevron Indonesia.

Salah satu hal yang tim kami temukan dan menjadi concern bersama adalah penegakan hukum di Mahkamah Agung. Di satu sisi, kami mendukung para hakim agung yang keras terhadap para pelaku kejahatan, khususnya korupsi. Di sisi lain, kami menemukan sikap keras dan cenderung populis tersebut ikut memakan korban dari mereka yang sebetulnya sudah berhasil membuktikan ketidakbersalahan mereka dan dihukum bebas di tingkat pengadilan sebelumnya.

Kita semua tentunya mengharapkan Mahkamah Agung benar-benar dapat menghadirkan keadilan bagi siapa pun dan tidak memakan korban akibat sikapnya yang cenderung keras dan ingin memberi efek ketakutan. Kami khawatir, sikap Mahkamah Agung yang kurang cermat dalam mengadili suatu perkara (cenderung menghukum) akan menyuburkan praktek makelar peradilan di tingkat bawah dan membuat para profesional ketakutan dalam mengambil keputusan krusial saat menjalankan tugas mereka, baik di BUMN, perusahaan, maupun pemerintahan.

Tema tersebut diulas salam seminar "Mengembalikan Keagungan Mahkamah Agung" yang diselenggarakan pada 21 Mei 2014 di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Simak liputan seminar ini melalui: http://www.useetv.com/ev/119/seminar-ma


Majalah Tempo: Perlawanan Hotasi

Menarik membaca artikel majalah Tempo, edisi 25 Mei 2014 halaman 96-101. Dalam majalah itu disebutkan, Mahkamah Agung menghukum mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Hotasi Nababan empat tahun. Padahal semua bukti korupsi yang dituduhkan sudah "gugur" di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Biarlah masyarakat yang menilai siapa yang bersalah terhadap kasus ini. Yang jelas, direksi Merpati sudah bertindak sesuai dengan peraturan yang ada. Kami hanyalah korban dari tindak kejahatan orang lain.




Tanggapan Masyarakat Terkait Kasus Merpati

I. TANGGAPAN AHLI TENTANG VONIS MA TERHADAP KASUS MERPATI
1. Said Didu, Mantan Sekretaris Kementerian BUMN
“Putusan MA soal eks Dirut Merpati aneh!," katanya.
“Kasus penegakan hukum dalam hal ini bukanlah kasus pidana, tetapi dihukum pidana. KPK secara tertulis menyatakan kasus ini bukan kasus pidana dan Bareskrim juga menyatakan bukan pidana,” ujarnya.
"Kementerian BUMN melalui RUPS pun menyatakan tidak ada yang dilanggar. Kok tidak pidana dihukum pidana. Aneh itu, bingung saya?" katanya menambahkan.

II. KOMENTAR MASYARAKAT TENTANG VONIS MA TERHADAP KASUS MERPATI
Jumat, 9 Mei 2014 | 22:30 WIB
Kali ini, Pak Artidjo, ngaco lagi .... My supports and prayers go to H. Nababan and fam
Jumat, 9 Mei 2014 | 22:10 WIB
Sabar Bung...banyak berdoa saja. INi adalah awal kejatuhan dari Pak Artidjo Alkostar.
Jumat, 9 Mei 2014 | 22:08 WIB
sabar bung....banyak berdoa saja. Ini adalah awal kejatuhan dari pak Artidjo Alkostar.....!
Jumat, 9 Mei 2014 | 21:00 WIB
kasihan hotasi... gara2 gak mau suap jaksa dia dikerjain habis2an
Jumat, 9 Mei 2014 | 21:36 WIB
jangan merasa anda lebih memahami ini perkara dari hakim. terlebih lagi ini hakim Artidjo Alkostar, yang punya kredibilitas yang tinggi
Jumat, 9 Mei 2014 | 19:37 WIB
Mengapa pak Artidjo masih diberikan kesempatan memegang palu? MA benar-benar menciptakan ketidakpastian hukum. Pak Hotasi, segera diPK saja!
Jumat, 9 Mei 2014 | 19:29 WIB
Saya kira inilah awal kejatuhan Artidjo Alkostar......!!!
Gilang @ggilang09 May 2014 19:24:33 WIB
1. Sumber informasi berita langsung dari Artidjo selaku Ketua Majelis pada 8 Mei. Sepengetahuan kami, informasi putusan biasanya ada di website dan disampaikan oleh juru bicara MA. 2. Majelis MA hanya menggunakan dakwaan jaksa penuntut umum sebagai dasar putusan. Sama sekali tidak melihat fakta persidangan yang lain, termasuk tuntutan jaksa penuntut. 3. Berkas perkara diterima di MA pada 28 Februari 2014. Kemudian diberi nomor register perkara pada 23 April 2014, dan diterima oleh saya di..
Gandhi20149 @gandhi2014909 May 2014 18:16:43 WIB
bukankah sudah jelas dalam kesaksian, merpati ditipu?sdh ada keputusan di AS bahwa pihak penipu terbukti menipu merpati?luar biasa sesatnya pengadilan kita.
Bisabisaaja09 May 2014 18:03:56 WIB
Tidak ada keadilan ditangan artijo

Juminten @juminten09 May 2014 18:02:45 WIB
Kan sudah ada keputusan mk tentang pasal 244 kuhap, yang intinya jaksa bisa kasasi untuk putusan bebas
Bisabisaaja09 May 2014 17:55:51 WIB
artijo mmg hakim yg memastikan, bahwa org yg diadili hrs dihukum se-tinggi2nya, tdk peduli salah atau tdk
Saracen-saladin @saracen-saladin09 May 2014 17:42:11 WIB
Hot, kelihatannya elu memang ditarget harus masuk...entah apa salah elu sama yg punya kuasa...hukum kita memang hukum duit

III. TANGGAPAN LSM TENTANG VONIS BEBAS PENGADILAN TIPIKOR ATAS KASUS MERPATI
1. ICW
Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan proses penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, patut dipertanyakan terkait dibebaskannya mantan direktur utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus tersebut terkait tindak pidana korupsi penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500.
"Proses penyidikan kejaksaan patut dipertanyakan," kata anggota Badan Pekerja ICW, Emerson F Juntho kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Menanggapi putusan bebas itu, ia menyarankan kejaksaan harus melakukan eksaminasi dalam kaitan vonis bebas terhadap Hotasi Nababan itu.
Hal ini, kata dia, guna melihat secara komprehensif apakah kasus ini perdata atau pidana.
"Pada intinya kita harus realistis melihat vonis yang dijatuhkan oleh PN Tipikor ini," katanya.

IV. TANGGAPAN PARA AHLI TENTANG KASUS MERPATI
1. Mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil
"Dalam kasus Hotasi, tindakan yang dilakukan telah memenuhi syarat akuntabilitas. Selain itu waktu Merpati merasa ditipu, Merpati langsung menggugat. Itu menjalani prinsip akuntabilitas sebab kalau dia (Hotasi) punya konflik kepentingan dia tidak akan berani menggugat ke pengadilan di Amerika," ujar Sofyan Djalil.

"Saya yakin Hotasi tidak bersalah. Kenapa, karena dia sudah mengejar uangnya. Ini sudah dibawa ke pengadilan dan dimenangkan oleh Pengadilan Amerika. Mitigasi risiko sudah dilakukan. Itu baru potensi kerugian negara karena uang masih bisa diupayakan. Kalau saya Menteri BUMN-nya, saya suruh kejar walau itu mahal sekali," ujarnya.

2. Pakar hukum pidana dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah MadProf Eddy OS Hiariej
“Perbuatan yang menimbulkan kerugian negara tidak bisa serta-merta dianggap korupsi. Apalagi, Hotasi saat memimpin MNA juga sudah mengupayakan pengembalian security deposit USD 1 juta yang dibayarkan ke Hume Associates sebagai pihak pemegang deposit bagi Thirdtone Aircraft Leasing Group (TALG) selaku penyedia pesawat.,” ujarnya
“Di perkara Hotasi ini tidak ada perbuatan redaksi yang dilakukan secara sengaja hingga akhirnya menimbulkan kerugian negara dan atau memperkaya pihak lain,” katanya menambahkan.

3. Ahli bidang investasi dan koorporasi Ida Bagus Rahmadi Supancana
"(Hotasi) Tidak bisa diminta pertanggungjawaban secara pribadi karena dia sudah melakukan tugas sesuai rambu-rambu perusahaan," katanya.

V. TANGGAPAN  MASYARAKAT TENTANG KINERJA KEJAGUNG TERKAIT KASUS MERPATI
Tanggapan Masyarakat di Kompasiana
Cuplikan pendapatnya:
"Masyarakat banyak menyoroti kinerja dan perilaku jaksa yang berada dilingkungan Jampidsus Kejagung. Disinilah tempatnya berbagai kasus korupsi diselidiki dan disidik, baik itu murni kasus korupsi ataupun dibuat kasus seolah-olah terjadi korupsi. Pada tempat inilah terindikasi kuat terjadinya penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dengan “mengolah perkara” untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Banyak kasus korupsi yang mandek ditempat ini yang pada awalnya jaksa getol memperosesnya tetapi lama kelamaan hilang tidak jelas rimbanya, kuat dugaan fulus yang bermain. Contohnya seorang mantan Bupati di Jawa Barat telah dua tahun lebih jadi tersangka korupsi tetapi sampai sekarang tidak jelas perkembanganya dan banyak kasus lainnya."
"Yang lebih parah adalah beberapa kasus yang seharusnya bukan merupakan korupsi dianggap korupsi dan orang yang terkait dengannya di cap koruptor. Jaksa memaksakan suatu kasus ke penga­dilan dan merumit-rumitkan kasus yang sebenarnya amat sangat seder­hana. Sudah jelas-jelas fakta hukum yang terungkap di pengadilan bukanlah tindak pidana, akan tetapi jaksanya tetap ngotot menuntut terdakwa.
"Pada tulisan ini saya akan menguraikan dua contoh kasus yang merupakan korban dari dakwaan sesat jaksa, yakni kasus Hotasi Nababan mantan dirut Merpati dan kasus IM2-Indosat. Hotasi didakwa korupsi oleh jaksa dalam kasus sewa-menyewa pesawat. Sedari awal sesungguhnya kasus ini tidak layak diproses apalagi dilimpahkan kepengadilan. Dakwaan jaksa dipaksakan, kasus ini seharusnya perdata, jaksa mengubah dan memaksakan kasus ini menjadi pidana."

Kumpulan Berita Vonis 4 Tahun dan Denda Rp 200 Juta dari MA


Berikut ini kumpulan berita tentang keputusan Mahkamah Agung yang memvonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

  • Divonis MA 4 tahun penjara, Hotasi Nababan kebingungan http://bit.ly/1qqaDvR
  • Divonis pada Hari Ulang Tahun, Hotasi: Ini bukan Kebetulan http://t.co/3XGx8P4fNn
  • Hotasi Nababan kaget dan bingung dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memberi vonis 4 tahun penjara. Hotasi...http://t.co/I5gj9gYVeE
  • Divonis MA 4 Tahun Penjara, Hotasi Bingung dan Sedih  http://t.co/NkmwQRdTVJ
  • Hotasi Kaget dan Bingung Divonis MA 4 Tahun Penjara, Ini Penjelasannya: Hotasi Nababan kaget dan bingung denga...http://t.co/0qHF9sTVhV
  • DUA warga negara AS yang telah 'menipu' MNA karena mengambil security deposit sedang diadili pengadilan di Was...http://t.co/P42aF3jUg1
  • Hotasi: Pertimbangan MA sudah Terbukti tidak Benar: DUA warga negara AS yang telah 'menipu' MNA karena mengamb...http://t.co/Y8e2Q4GmAb

Tanggapan atas Berita Vonis MA


Saya dan keluarga sangat kaget, bingung, dan sedih mendengar kabar pagi ini dari media bahwa Majelis Hakim Tingkat Kasasi MA yang dipimpin Artijo Alkotsar telah menjatuhkan vonis 4 tahun dan denda Rp 200 juta kepada saya. Dasar Putusan Majelis MA itu adalah sama persis dengan isi Dakwaan JPU menurut Pasal 2 UU no. 31/1999 jo 20/2001. Majelis Hakim Kasasi tidak mengindahkan seluruh fakta yang terungkap dipersidangan  di Pengadilan, bahkan juga tidak mengacu pada Tuntutan JPU.

Seperti diketahui, pada tanggal 19 Februari 2013 yang lalu, Majelis Hakim Tipikor PN Jakarta Pusat telah memberikan Putusan Bebas Murni (Vrijspraak) kepada saya dan Tony Sudjiarto atas Perkara Security Deposit Sewa Pesawat Merpati yang terjadi di Desember 2006. Setelah melalui 25 sidang selama 8 bulan dan menhadirkan puluhan saksi, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa tidak terbukti ada “mens rea” (niat jahat) saya dalam mengambil keputusan penempatan Deposit itu. Majelis juga berpendapat pembayaran Security Deposit sudah dilakukan dengan transparan, hati2, beritikad baik, tanpa ada konflik kepentingan.

Sebagai orang awam hukum, saya tidak mengerti mengapa kemudian Putusan Bebas Murni itu masih bisa di-Kasasi oleh Jaksa ke MA. Padahal pasal 244 KUHAP mengecualikan Putusan Bebas dari Kasasi.

Beberapa kejanggalan yang saya temui atas pernyataan Artijo di berita adalah sebagai berikut:
1.      Sumber informasi berita itu langsung dari Artijo sendiri selaku Ketua Majelis pada tanggal 8 Mei. Sepengetahuan kami, informasi Putusan biasanya ada di website dan disampaikan oleh JuBir MA.
2.      Majelis MA hanya menggunakan Dakwaan JPU sebagai dasar putusan. Sama sekali tidak melihat Fakta Persidangan yang lain, termasuk Tuntutan JPU.
3.      Berkas Perkara diterima di MA pada tanggal 28 Februari 2014. Kemudian diberi nomor Register perkara pada tanggal 23 April 2014, dan diterima oleh saya di rumah pada tanggal 8 Mei 2014. Proses pemeriksaan Kasasi di MA berlangsung sangat cepat.
4.      Hingga siang ini tanggal 9 Mei 2014, di website resmi Mahkamah Agung, di Informasi perkara saya No. 417 K/PID.SUS/2014 masih belum ada Nama2 Hakim Pembaca dan Panitera, Tanggal Putus, dan Amar Putusan.
5.      Putusan dibuat pada tanggal 7 Mei 2014, bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Ini bukan sebuah kebetulan.

Seluruh “pertimbangan” Artijo telah dibuktikan TIDAK BENAR di Pengadilan Tingkat Pertama dengan fakta sbb:
1.      RUPS telah memberikan kewenangan Direksi flexibilitas untuk memilih tipe Pesawat yang menguntungkan Perusahaan.
2.      Penempatan Security Deposit (SD) itu dilakukan di Law Firm Hume di Washington sebagai “custodian” dan tidak boleh diambil sepihak sesuai peraturan di AS.
3.      Sudah ada LOI antara Merpati dan TALG yang menjadi dasar penempatan Security Deposit yang mengikat. LOI ini dianggap sebagai “Perjanjian mengikat”, yang menjadi dasar menagnya gugatan Merpati terhadap TALG  di Pengadilan Washington DC pada tahun 2007.
4.      Circular BOD merupakan keputusan kolektif Direksi Merpati.  Bukan keputusan saya sendiri.
5.      Legal Opinion yang dibuat oleh Biro Hukum menjadi bukti yang tidak relevan oleh Hakim di PN karena tertanggal setelah penempatan SD.
6.      Kedua Warga Negara AS yang telah “menipu” Merpati mengambikl SD itu sedang diadili pengadilan di Washington DC atas tuntutan kejahatan tingkat tinggi.

Pertimbangan Artijo sangat berbeda dengan kesimpulan Pengadilan Negeri, KPK, BPK, Kejaksaaan DATUN, Bareskrim, dan Putusan Pengadilan AS, bahwa saya tidak melakukan pidana di perkara perdata ini.

Ketika Hakim Napitupulu Memimpin Sidang...



Pangeran Napitupulu
Jangan main-main. Ini menyangkut nasib dua orang itu, rektor itu yang duduk di situ,” bentak Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu kepada Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Dedi Purwana, yang didatangkan sebagai saksi pada sidang Kamis (7/3). Salah satu terdakwa dalam sidang itu adalah Pembantu Rektor III UNJ Fakhruddin Arbah.

Fakhruddin bersama Tri Mulyono, dosen Fakultas Teknik UNJ, didakwa dalam perkara dugaan korupsi pengadaan peralatan laboratorium di UNJ. Dedi terkena marah Napitupulu karena dianggap berbelit-belit dan bahkan sempat diancam pidana penjara karena dianggap memberikan keterangan palsu.

Dedi tampak terkejut dengan bentakan dan ancaman itu. Dedi akhirnya memberikan keterangan yang sesuai fakta persidangan sebelumnya. Napitupulu pun melunak. ”Anda ini orang-orang berpendidikan. Kita hargai dosen. Saya tak bisa duduk di sini tanpa dosen,” kata Napitupulu.

Suasana hening. Dedi yang biasa tertawa-tawa akhirnya mengubah cara bicaranya dan mengakui sejumlah transaksi yang sebelumnya tak ia akui. ”Kami tidak marah. Orang Batak memang suaranya begitu. Jangan dibawa hati. Ini pembelajaran,” kata Napitupulu. Dalam sidang itu, Napitupulu juga marah soal dua anggota staf PT Anugerah Nusantara yang selalu menolak datang menjadi saksi. Napitupulu pun memerintahkan kepada penuntut untuk menersangkakan dua anggota staf PT itu. ”Makanya penuntut umum, Gerhana Sianipar itu jadikan tersangka, termasuk Marisi Matondang, cari di mana orangnya. Kalau tidak mau datang, jadikan tersangka. Semuanya harus jelas, tak ada abu-abu,” teriak Napitupulu.

Napitupulu seolah mewakili rasa ketidakadilan terhadap sebuah kasus ketika seseorang tidak dijadikan tersangka, padahal ia diduga kuat terlibat. Perintah yang sama pernah ia teriakkan dalam sidang anggota DPR, Wa Ode Nurhayati. Ia perintahkan Haris Andi Surahman, perantara suap Wa Ode, jadi tersangka.
Di bawah pimpinan majelis hakim Pangeran Napitupulu, emosi dalam sidang-sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta bisa naik turun. Sesekali gergeran penuh tawa, tapi tetap serius. Namun, kadang terdengar gelegar bentakan atau ancaman kepada terdakwa atau saksi yang mencoba berbohong.

Walau terkesan keras, Napitupulu adalah pelindung yang baik terhadap mereka yang terlihat lemah. Ia tak segan-segan m emotong pertanyaan jaksa atau penasihat hukum yang dianggapnya terlalu jauh dari persoalan kasus atau terlalu memojokkan saksi atau terdakwa.

Napitupulu pernah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap sidang korupsi biaya penggalian kubur yang hanya melibatkan Kepala Suku Dinas Pe m a kaman Jakarta Utara. Napitupulu juga pernah menyindir jaksa yang menyidangkan terdakwa korupsi dengan nilai suap hanya Rp 5 juta. Padahal, Pengadilan Tipikor Jakarta adalah pengadilan tipikor tersibuk yang per hari bisa menyidangkan hingga 17 kasus.

Dalam sejarah Pengadilan Tipikor Jakarta, Napitupulu adalah ketua majelis hakim yang pertama kali membebaskan terdakwa korupsi, yang mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan. Namun, bukan kecaman yang ia panen, melainkan acungan jempol karena kasus Hotasi dinilai tak layak masuk ranah korupsi.

Jika ada yang sempat berpikir bahwa hal itu karena sama-sama orang Batak, persepsi itu salah besar karena dalam sidang-sidang Napitupulu sering menyemprot orang-orang Batak yang terlibat korupsi. ”Tak tahu PT Anugerah Nusantara? Milik M Nazaruddin dan Anas Urbaningrum, anak buahnya ada Rosa Manulang, Marisi Matondang, Gerhana Sianipar... semua orang Batak. Waduh...,” ujarnya dalam sidang Fakhruddin Arbah. Pengunjung pun gergeran. (AMIR SODIKIN)

Sumber: Kompas, 9 Maret 2013 Hlm. 4

Untuk Apa Kasasi Lagi?




Pada tanggal 19 Februari 2013 tepat pk 16.21, Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta di Kuningan membaca putusan vonis bebas atas semua dakwaan jaksa terhadap saya dan Tony Sudjiarto atas perkara sewa pesawat Merpati. Konon putusan ini pertama kali di pengadilan khusus Tipikor Jakarta sejak dibentuk tahun 2004. Tentu kami sangat terkejut dan bersyukur kepada Tuhan YME menyambut putusan Majelis hakim itu, walaupun sejak awal kami dan semua saksi meyakini perkara ini bukan pidana sama sekali.

Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut saya dengan hukuman 4 tahun atas dakwaan subsider pasal 3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Adapun dakwaan primer atas pasal 2 telah digugurkan sendiri oleh JPU. Saya didakwa menyalahgunakan wewenang mengirim deposit sebesar US$ 1 juta untuk sewa 2 pesawat B737 Classic kepada pihak lessor Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) pada Desember 2006. Karena TALG gagal menyerahkan kedua pesawat dan menolak mengembalikan deposit itu, maka dianggap telah terjadi kerugian negara. Saya juga didakwa melanggar aturan BUMN tentang penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2006. Kemudian saya didakwa mengetahui sebelumnya bahwa deposit itu akan digunakan untuk uang muka (down payment) pesawat itu ke pihak pemilik Lehman Brothers.

Dari rekaman kami sebelum menerima amar putusan yang resmi, Majelis hakim menguraikan kajian yuridis atas unsur-unsur yang ada di dakwaan primer dan subsider itu terhadap perkara ini. Majelis tidak menemukan bukti sah dan meyakinkan adanya kesengajaan atau niat untuk melakukan perbuatan melawan hukum seperti di pasal 2 UU Tipikor itu. Majelis juga menyimpulkan Direksi Merpati telah mengambil keputusan secara bersama/kolegial sesuai kewenangannya, dengan hati-hati, dan telah mengupayakan memeriksa latar belakang TALG. Majelis juga menerima bukti adanya pasal flexibilitas untuk merubah tipe armada pesawat yang tercantum di RKA seperti yang telah dijelaskan oleh saksi mantan Komisaris dan Pemegang Saham. Selain itu Majelis menilai penempatan deposit untuk mengikat pesawat adalah hal yang lazim di bisnis penerbangan. Dengan demikian unsur ‘perbuatan melawan hukum’ gugur dan dakwaan primer tidak terbukti.

Pada dakwaan subsider di pasal 3, Majelis tidak melihat bukti yang sah dan meyakinkan bahwa kami Direksi Merpati menempatkan deposit itu dengan tujuan “sengaja” untuk menguntungkan orang lain. Menurut Majelis, di setiap perjanjian bisnis masing-masing pihak tentunya bertujuan mencari keuntungan, sehingga dalam perjanjian sewa pesawat ini baik Merpati dan TALG telah menghitung target keuntungan masing-masing. Oleh karena itu maksud unsur “tujuan menguntungkan orang lain” itu tidak bisa diterapkan untuk perjanjian seperti ini. Majelis juga menganggap letter of intent (LOI) yang memuat perjanjian pokok antara Merpati dan TALG adalah sah dan mengikat. Hal ini diperkuat oleh putusan pengadilan di Washington DC yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG di 2007.

Di bagian lain, Majelis menjelaskan lingkup “resiko bisnis”, yaitu hal-hal yang di luar kendali dan pengetahuan dari Direksi sebelum pengambilan keputusan, sejauh dapat dibuktikan dengan niat baik dan telah melakukan upaya maksimal untuk mendapat informasi sebanyak mungkin untuk menghindari resiko kerugian. Majelis menyatakan “resiko bisnis” tidak masuk dalam ranah pidana korupsi.Atas telaah yuridis itu, Majelis memutuskan bebas murni (vrijspak) dan memerintahkan JPU untuk mengembalikan seluruh hak kami. Walaupun salah satu hakim anggota menyampaikan dissenting opinion yang tidak berbeda dari dakwaan JPU, tapi putusan akhir tetap, yaitu kami memperoleh kebebasan penuh sebagai warga negara.Setelah putusan itu, kami mendengar di media bahwa Jaksa berniat untuk mengajukan kasasi atas putusan bebas ini. Sebagai seorang awam, niat Jaksa ini sungguh sangat mengherankan. Di berbagai negara, sebuah putusan bebas atas seorang terdakwa di pengadilan pidana adalah final dan tidak bisa naik di-banding, apalagi di-kasasi. Perkara yang sama tidak bisa dibuka lagi, kecuali ada bukti baru yang sangat meyakinkan. Setelah mengumpulkan bahan dan nasehat, perkenankan saya memohon kesediaan Kejaksaan untuk mengurungkan niat itu untuk 3 alasan.

Alasan pertama adalah sebagai penegak hukum, Jaksa justru harus memberi contoh untuk patuh pada perundangan, khususnya UU no.8 /1981 tentang KUHAP. Pasal 244 KUHAP menyatakan: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Frasa terakhir itu sudah sangat jelas bahwa kasasi tidak berlaku pada “putusan bebas”.

Namun Kejaksaan akan berkeras bahwa kasasi sudah merupakan yurisprudensi selama 30 tahun dan toh pun diterima oleh Mahkamah Agung. Padahal yurisprudensi ini dibuat di saat rezim Orde Baru dimana para hakim masih di bawah kekuasaan eksekutif yaitu Menteri Kehakiman, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03/1983 yang menyatakan, kasasi atas putusan vonis bebas dapat dilakukan sesuai situasi dan kondisi (sikon). Namun kriteria atas sikon itu tidak ada sehingga tidak jelas syaratnya. Rezim waktu itu bebas menentukan ‘kasasi atas vonis bebas’ dari suatu perkara secara sepihak.Hingga hari ini, 15 tahun setelah Reformasi, paradigma Kejaksaan masih di dalam ‘kebiasaan’ rezim Orde Baru itu. Jika tidak kasasi, Kejaksaan kuatir dipertanyakan banyak pihak. Karena pencitraan adalah hal penting, maka sulit bagi Kejaksaan untuk tidak kasasi. Ketidakpastian hukum dari kontradiksi antara yurisprudensi dan perundangan dibiarkan terus. Akibatnya penegak hukum seperti Kejaksaan cenderung menafikkan prinsip ‘civil law’ bangsa ini, bahwa perundangan adalah sumber hukum utama, mendahului yurisprudensi/kebiasaan. Untuk itu, kami mengajak Kejaksaan melihat perkara ini sebagai sebuah peluang sejarah besar untuk swa- koreksi dan menjunjung hukum. Kejaksaan mampu menjelaskan hal ini kepada masyarakat bahwa KUHAP memang tidak membolehkan kasasi kecuali jika ditemukan kejanggalan atau pelanggaran perundangan dalam proses pembuatan putusan.

Alasan kedua adalah Jaksa harus “fair” menerima putusan pengadilan, seperti seorang yang ingin bertanding harus menerima hasil, siap berhasil atau siap gagal. Jaksa lah yang membawa perkara ini ke pengadilan, artinya jaksa percaya atas asas res judicata provaritate habetur yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan harus dihormati. Nilai “satya” dari falsafah Tri Krama Adhyaksa seharusnya dipegang teguh. Jaksa harus jujur dan mengakui hasil pengadilan ini karena Majelis telah memberi kesempatan yang sama kepada semua pihak untuk mengajukan bukti dan analisa setiap minggu selama 8 bulan. Sebagai penuntut umum, Kejaksaan telah mengerahkan seluruh upayanya membuktikan dakwaannya di pengadilan. Tidak tepat adanya ungkapan jaksa “gengsi” jika tidak mengajukan kasasi terhadap vonis bebas, seolah mengakui “kekalahan”. Pengadilan bukan arena menang-kalah, tapi sebuah “sidang Ilahi”. Mengapa kita membiarkan gengsi di atas kebenaran? Di saat penyidikan, jaksa tidak mau menerima semua bukti kami yang meringankan dan selalu menyatakan “silakan ajukan bukti itu di pengadilan, dan apabila Hakim menerima, maka kami akan menerima.” Lalu setelah keputusan vonis bebas, mengapa sekarang Jaksa tidak menerima putusan Hakim?  

Alasan ketiga adalah menyangkut hak azasi saya yang telah dirampas sejak saya ditetapkan sebagai Tersangka secara terburu-buru di Agustus 2011. Putusan bebas murni yang saya peroleh sungguh sebuah tegukan air di tengah padang gurun ketidakpastian hukum di negeri ini. Saya merasakan hilangnya hak-hak dasar saya untuk mobilisasi hidup. Nama baik dan reputasi saya telah dirusak sejak berita penetapan Tersangka dari Kejaksaan. Masyarakat sudah mem-vonis saya bersalah dan dicap sebagai “koruptor”.
Namun kemudian, setelah seluruh proses pengadilan diliput media, maka kepercayaan masyarakat berangsur pulih terhadap saya dan meyimpulkan bahwa perkara ini memang bukan ranah pidana korupsi. Sangat tidak adil, jika kecerobohan oknum Jaksa memaksakan perkara ini ke pengadilan masih diteruskan dengan proses kasasi. Masa depan saya kembali tergantung. Bagi jaksa, ini mungkin menyangkut gengsi dan citra. Polemik teknis legal atas ‘kasasi atas vonis bebas’ ini boleh saja terus berlanjut di masyarakat hukum. Namun bagi saya, seorang manusia biasa hidup di negara hukum, hal ini menyangkut penghidupan dan masa depan anak-anak saya yang masih kecil.

Terakhir, siapa yang bersalah dari perkara Merpati ini? Jawabannya jelas. Kedua warga negara AS pemilik TALG yang telah mengaku mengambil uang deposit Merpati.  Kejaksaan sebaiknya berupaya keras untuk menagih ke AS bekerja sama dengan Interpol, KBRI, dan FBI. Kejaksaan juga harus memantau pengadilan pidana atas Jon Coooper, pemilik TALG, yang sedang berlangsung di Washington DC. Saya bersedia membantu bila diperlukan. Tindakan ini lebih berguna bagi negara dan Merpati, daripada memaksakan noktah hukum demi menyiksa saya.Semoga Kejaksaan terketuk hatinya untuk tidak melanggar KUHAP.Hotasi NababanMantan Dirut MNA 2002-2008
x